Saturday, May 19, 2012

Me and Nadia Vega The Untold Story (Part 1)


Nggak kerasa waktu bergulir begitu cepat. Nggak kerasa juga ternyata gue memasuki tahun ke-8 gue mengidolakan Nadia Vega. Well, delapan tahun itu waktu yang nggak sebentar, men. Banyak suka duka mengiringi perjalanan gue mengidolakan gadis cantik kelahiran Pekanbaru, 12 Desember 1987 itu.

Mungkin bisa dibilang gue udah hapal luar kepala kalo ditanya apa pun tentang Nadia Vega. Gue coba cerita tanpa lihat internet atau catatan apapun yaaa…


Nadia Vega lahir di Pekanbaru, 12 Desember 1987 dari pasangan Tante Dian dan Oom Rahmat. Kok lahirnya jauh amat di Pekanbaru? Kan Nadia Vega tinggal di Bogor? Menurut cerita yang gue denger dari Mamanya Teh Nadia, karena waktu itu Tante lagi mengandung-janin-yang-soon to be-Teh Nadia susah melahirkan (padahal usia kandungannya sudah 9 bulan), Tante dan Oom yang domisilinya di Bogor memutuskan terbang ke Pekanbaru untuk tinggal dengan kakaknya Tante di sana. Harapannya sih biar si jabang bayi di kandungan Tante bisa cepat mbrojol. Dan ternyata... Harapannya terkabul! Setelah ke Pekanbaru, beberapa waktu kemudian Tante bisa dengan gampangnya melahirkan si Teh Nadia! I bet pasti banyak yang nggak tahu tentang cerita ini.

Nadia Vega memulai kariernya di dunia hiburan sejak usianya memasuki angka 9 tahun. Nadia Vega mencoba peruntungannya menjadi host acara anak di Indosiar, yang kalau nggak salah itu namanya “Pesta Ceria”. Acara tersebut tergolong sukses. Ada cerita seru di balik perjalanannya menjadi host acara tersebut. Sebelum menjadi host, tentunya Nadia Vega harus mengikuti audisi. Nah, di saat akan mengikuti audisi ini Teh Nadia yang berdomisili di Bogor harus naik bus untuk mencapai studio Indosiar yang berada di Daan Mogot. Bus yang Teh Nadia dan Mamanya tumpangi penuh sesak plus non-AC pula. Alhasil, saking empet-empetannya Teh Nadia sampai harus duduk di bersama barang-barang penumpang lain. Tahu kan kalo di bus itu ada tempat naro barang-barang penumpang yang posisinya di balik kursi paling belakang? Nah, di situ Teh Nadia duduk! Ckckck… Udah gitu sampe ke Indosiarnya telat pula. Alhasil tempat audisinya udah sepi krik-krik. Untungnya pihak Indosiar masih mengizinkan Teh Nadia ikut audisi. Coba nggak… Kasian banget kan Teh Nadia capek-capek ke sana. Alhamdulillah, Teh Nadia akhirnya diterima jadi host acara tersebut.

Semenjak itu mulailah berdatangan job-job iklan, jingle, dsb ke Teh Nadia. Hingga akhirnya di tahun 2003 Teh Nadia mulai main sinetron berjudul “Inikah Rasanya” bareng Alyssa Soebandono, Gilbert Marciano, Rifky Balweel, dan Raya D. Kohandi. Di sini, Nadia Vega berperan sebagai cewek SMP yang agak tomboy namun manis dengan style rambut highlight. Di sinetron ini, yang gue tangkap, Teh Nadia seolah-olah “dijodohkan” dengan Rifky Balweel yang berperan sebagai Jono, si culun berkacamata.

Sayangnya, saat sinetron Inikah Rasanya mulai tayang, gue masih belom ngeh sama kehadiran Teh Nadia. Gue juga waktu itu masih seneng mindah-mindahin channel tanpa nonton isi acaranya.

Awal Mengenalnya… 

Gue melihat sosoknya pertama kali saat gue lagi asyik-asyiknya mindah-mindahin channel tv di rumah gue. Kira-kira waktu itu gue masih kelas 5 SD, umm, sekitar tahun 2004. Entah mengapa saat itu jari gue yang super lincah nggak ketulungan ini mencet tombol remote angka enam, yang langsung ngebawa gue ke sebuah sinetron di saluran SCTV. 

Icha. 

Perannya di sinetron Cinta Terbagi Lima membuat gue bisa sejenak menghentikan gerak jari-jemari gue. Paralyzed. Padahal biasanya gue bisa dengan lincahnya mengubah-ubah saluran tv dalam hitungan sepersekian detik. Gue cuma bisa duduk terpaku memandanginya. Siapa dia?
Gaya khasnya membuat gue jatuh cinta. Pun aktingnya. So natural. Karakter tomboy itu begitu dihayati oleh sang aktris. Icha lebih banyak memiliki teman lawan jenis, ber-BMX ria ke manapun, benci hal-hal ke-cewek-an, dan bermental baja. Seperti gayaku sehari-hari saat itu.

I hate Barbie, I love bicycling, nggak suka jadi anak bawang, dan sahabat masa kecil gue itu semuanya cowok. Entah gimana ceritanya gue lebih merasa nyambung kalo deket-deket cowok. Nah, gue yang tomboy waktu itu seperti menemukan sosok yang tepat untuk dijadikan panutan ke-tomboy-an gue. Sayangnya, waktu pertama kali liat dia, gue belum menemukan jawaban siapa nama asli pemeran tokoh Icha. Credit title-nya kelewatan jadi nggak kebaca sama gue.

Pada saat itu internet bukan barang yang mudah ditemukan. Masih eksklusif. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengaksesnya. Nggak kayak sekarang yang tinggal tekan tombol di ponsel dan viola, Mbah Google muncul siap membantu kita!

Akhirnya kepasrahan itu menuntun gue pada sebuah titik terang (ceilah!). Gue bisa kembali menyaksikan sosoknya beberapa hari kemudian. Tapi… dalam wujud yang berbeda.

Mini.

Gayanya memang (masih) terlihat tomboy. Hanya saja di sini ia terlihat lebih ‘kalem’. Highlight rambutnya yang sering dimain-mainkan jadi ciri khasnya di sinetron ini. Tomboy nanggung menurut gue. Walau begitu, dia tetap sukses membuat tanganku berhenti mindah-mindahin channel televisi. Betapa hebat pengaruhnya cewek itu padaku.

Nadia Vega.

Gue kantongi nama itu untuk gue selidiki lebih lanjut. Majalah Aneka Yess! jadi rajin gue beli tiap dua minggu sekali, pun tabloid Keren Beken karena kedua media cetak itu selalu update mengenai Nadia. Karena saat itu Nadia lagi aktif-aktifnya jadi model kaos Ie-Be. Uang jajan gue habis buat membeli keduanya. Syukur Alhamdulillah ketika itu uang jajan gue sudah jauh di atas rata-rata anak seumuran gue. (ps : Ingat, waktu itu gue lagi masih benci hal-hal kecewekan, bahkan sampai majalah! Biasanya gue beli majalah MISTERI! Hehehe…)

Dari situ gue mulai mengenalnya. Walau aktingnya di kedua sinetron itu sebagai anak SMP, saat itu Nadia ternyata sudah duduk di bangku SMA! Lalu yang mengejutkanku, ternyata dia orang Bogor! Sekolahnya di Bina Insani, deket rumah! Euleuh, euleuh

Gue merekam dalam memori biodata Nadia yang tercetak pada lembar majalah itu. Lahir di Pekanbaru, 12 Desember 1987. Anak pertama dari tiga bersaudara. Dan lain sebagainya. Semua masih tersimpan dengan baik dalam sudut memori gue yang kekal abadi.

Mulai saat itu tumbuh benih-benih mengidolakan Nadia dalam hidup gue, yang terus gue pupuk tiap harinya. Rasa itu semakin tumbuh besar dan bersemi dalam hati gue. Dan saat itu, gue bertekad untuk bisa bertemu dengannya suatu saat nanti. Harus bisa!

Nggak pernah ada kata tidak bisa dalam kamus hidup gue. I always get what I want! Gue pasti akan memperjuangkan keinginan gue itu sampai titik darah pengabisan.

Didorong rasa itu,  gue kumpulkan tiap kepingan gambar Nadia. Gue tempel semuanya dalam lembaran kertas binder. Sambil terus merapal keinginan gue bertemu dengannya di dalam hati. Gue meneguhkan hati. Meluruskan niat. Berharap Tuhan mendengar semua keinginanku.

Ibu sesekali menatapi gue yang heboh di kamar dengan gunting dan lem. Sesekali Beliau menertawai gue. ‘Apa yang bisa kau harapkan dari melakukan itu semua, Nak?’ Kurang lebih itu yang bisa gue terjemahkan dari pandangan matanya. Gue cuma bisa membalas pandangan itu dengan sebuah senyuman miris. Atau sekedar tertawa kecil sambil menghibur diri.

Ya, apa yang bisa gue harapkan dari yang gue kerjakan ini?

Gue yang masih bocah ingusan kala itu memang tak pernah tahu kapan bisa bertemu dengannya.

Bertemu Icha. Bertemu Nadia Vega.

(to be continue)

No comments:

Post a Comment